HARUSKAH DIREKTUR RUMAH SAKIT SEORANG DOKTER ?
Akhir-akhir ini bisnis perumahsakitan terus berkembang, banyak kalangan swasta baik secara individu maupun berkolaborasi membangun rumah sakit, tidak terbatas pada kelompok paramedis maupun individu paramedis, namun banyak dari kalangan non paramedis turut meramaikan dan memanfaatkan peluan bisnis dibidang pelayanan kesehatan. Demikian juga institusi swasta dari kalangan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran atau akan membentuk fakultas kedokteran berusaha mengkaitkan dengan ketersediaan rumah sakit pada institusi tersebut.
Atas fenomena ini kemudian muncul beberapa pertnyaan dari kalangan “awam” menanyakan haruskah seorang direktur rumah sakit seorang dokter atau cukup paramedis non dokter yang memiliki pengalaman tentang perumah sakitan? Dan bolehkan pemilik rumah sakit merangkap jabatan sebagai direktur?
Dalam Permenkes No. 971 tahun 2009, Permenkes RI No. 147?MENKES/PER/I/2010 Tentang perizinan Rumah Sakit dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit memang tidak dicantumkan dengan pasti bahwa direktur rumah sakit haruslah seorang dokter, tetapi hanya menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.
Yang relevan untuk dijadikan pedoman penentuan kepala rumah sakit harus dokter adalah:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.
Apakah Depkes akan melakukan audit terhadap rumah sakit yang memiliki direktur bukan seorang dokter? Jawabnya, ya Depkes akan mengaudit dan memebrikan penilaian atas posisi ini. Depkes memiliki program akreditasi yang harus dilakukan oleh semua institusi pelayanan kesehatan yang menggunakan klasifikasi/nama “Rumah Sakit” dalam bisnisnya.
Berikut adalah perangkat Akreditasi yang digunakan untuk mengaudit keberadaan direktur dan pemilik rumah sakit:
Standard 3. STAFF dan PIMPINAN
Adanya pelimpahan kewenangan dari pemilik kepada pengelola rumah sakit untuk megelola sumber daya manusia (SDM)
S.3.P.1. Pemilik menetapkan tertulis Direktur Rumah Sakit
Skor:
0: Tidak ada Direktur rumah sakit
1: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
2: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
3: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
4: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
5: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi, disertai pemilikan ijazah dan gelar pasca sarjana (S2) dalam bidang manajemen.
DO: Sebutan Direktur rumah sakit dapat juga diberikan dengan nama lain misalnya Kepala, Direktur Utama, Chief Executive Officer (CEO). Kualifikasi Direktur rumah sakit dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.
Dikutip dari :
http://www.konsultanrumahsakit.com/home/index.php?page=detail&cat=2&id=264
Mengungkap persepsi pasien,pelanggan,petugas, manajemen, investor maupun kalangan masyarakat lainnya tentang uniknya pelayanan rumah sakit
Total Tayangan Halaman
Kamis, 30 Januari 2014
Sabtu, 11 Januari 2014
Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Armand V Feigebaum berpendapat bahwa mutu adalah faktor keputusan
mendasar dari pelanggan bukan keputusan insinyur, pasar atau ketetapan
manajemen. Mutu berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk
atau jasa pelayanan,mengukurnya,mengharapkannya, dijanjikan atau tidak,sadar
atau hanya dirasakan,operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu
menggambarkan target ayang bergerak dalam pasar yang kompetitif.
Mutu produk dan jasa
adalah gabungan sifat-sifat produk atau jasa pelayanan dari
pemasaran,engineering,manufaktur dan pemeliharaan dimana produk atau jasa
pelayanan dalam penggunaannya bertemu dengan harapan pelanggan. Beberapa
definisi profesional tentang mutu banyak dikemukakan dan saling melengkapi
antara lain
1. Mutu adalah
gambaran total sifat suatu produk jasa pelayananyang berhubungan dengan
kemapuannyauntuk memberikan kebutuhan kepuasan ( American Society for
Quality Control )
2.
Mutu adalah “Fitness
for Use” atau kemampuan kecocokan
terhadap penggunaan (J. M Juran)
3. Mutu adalah kesesuaian terhadap permintaan
persyaratan (The conformance of requirements – Philip B.Crosby,1979 ) .
Mutu
barang umumnya dapat diukur (tangible),namun mutu jasa pelayanan sulit diukur (intangible)
karena umumnya bersifat subyektif karena menyangkut kepuasan seseorang,
bergantung pada persepsi, latar belakang, sosial ekonomi,
norma,pendidikan,budaya bahkan kepribadian seseorang. Bagi pasien mutu yang
baik dikaitkan dengan sembuhnya dari sakit atau berkurangnya rasa sakit,
kecepatan pelayanan, keramahtamahan, dan tarif pelayanan yang murah. Pasien akan
menganggap pelayanan kesehatan jelek jika menurutnya sakit yang diderita tidak
sembuh sembuh, antri lama, petugas kesehatannya tidak ramah meskipun
professional
Konsumen pelayanan
kesehatan tidak dapat dinilai secara teknis medis,oleh karena itu mereka
menilai dari sisi non teknis. Ada dua penilaian tentang pelayanan kesehatannya
yaitu kenyamanan dan nilai pelayanan
yang diterima. Konsumen pelayanan yang akan membandingkan pelayanan kesehatan
yang diterima dengan harapan terhadap pelayanan yang diberikan sehingga
membentuk kepuasan mutu pelayanan. Hasil yang dapat terjadi :
a.
Jika harapan itu
terlampaui, pelayanan tersebut diarsakan sebagai kualitas yang luar biasa
b.
Jika harapan
sama dengan pelayanan yang dirasakan, maka kualitas memuaskan.
c.
Jika harapan
tidak sesuai atau tidak terpenuhi maka kualitas pelayanan tersebut dianggap
tidak dapat diterima atau mengecewakan.
Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan penilaian
mutu lebih terkait dengan dimensi kesesuaian mutu pelayanan yang
diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau
otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Petugas kesehatan merasa mutu yang bagus adalah tersedianya
prasarana yang bagus, canggih serta persediaanya tercukupi.
Sedangkan bagi
manajer organisasi kesehatan atau penyandang dana mutu dikaitkan dengan tersedianya sumber
daya, , tenaga pelayanan, anggaran yang memadai, efisiensi pemakaian sumber
dana , biaya operasional yang cukup dan investasi yang sepadan serta mengurangi
kerugian penyandang dana.
Secara tidak langsung pasien yang
mempunyai persepsi tentang mutu
pelayanan yang buruk akan menceritakan kepada
delapan sampai sepuluh orang bahkan satu dari lima pasien yang tidak puas akan
menceritakan masalahnya kepada duapuluh temannya
Dalam penelitian Krowinski (1997) di tujuh rumah sakit dengan jumlah
15.000 pasien, melaporkan bahwa 13 % pasien yang tidak puas ,37 % tidak
menyampaikan keluhannya dan 63 % menyampaikan keluhannya. Kemudian dari 37 %
yang tidak menyampaikan keluhan 91 % tidak mau kembali lagi.Sedangkan yang 63 %
yang meyampaikan keluhan jika ditanggapi 54 % mau kembali lagi,tetapi 46 %
tidak kembali lagi. Tetapi jika tidak ditanggapi maka 81 % tidak kembali lagi
Dari uraian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa mutu yang buruk menyebabkan ketidak puasan pasien yang
mempunyai konsekuensi kerugian biaya bagi rumah sakit karena kehilangan
pasiennya.
Suatu
penelitian lain yang dilakukan untuk mengetahui mengapa
pelanggan / pasien tidak
kembali lagi,ditemukan kenyataan sebagai berikut :
1.
1 % karena meninggal dunia
2.
3 % karena pindah tempat tinggal
3.
5 % karena menemukan persahabatan
dengan perusahaan lain
4.
9 % karena bujukan pesaing
5.
14 % karena tidak puas denga
produk dan
6.
68 % karena mutu pelayanan yang
buruk
Untuk mengatasi kesenjangan
antara persepsi konsumen / pasien dengan penyedia jasa pelayanan diperlukan
langkah untuk mengidentifikasi atau mengenal kebutuhan pasien dan faktor –
faktor apa saja yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan kesehatan. Dengan
mengenal hal tersebut maka akan memberikan suatu pemahaman yang lebih baik
mengenai cara pasien mempersepsikan mutu pelayanan sehingga Rumah Sakit akhirnya
dapat memahami bagaimana seharusnya memperlakukan pasiennya
Untuk
mengukur mutu jasa pelayanan termasuk kesehatan maka model yang sering digunakan adalah model Servqual
mutu pelayanan jasa yaitu antara lain
1. Reliability
(Kehandalan) : dimensi mutu pelayanan
yang berupa kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang optimal dan akurat dan merupakan pernyataan tentang
kemampuan dalam memenuhi janji yang ditawarkan.
2.
Responsiveness ( Daya Tanggap ) : dimensi mutu pelayanan tentang respon atau
kesigapan petugas memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap termasuk
kecepatan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan / pasien.
3. Empathy ( Perhatian) : dimensi mutu
pelayanan tentang kepedulian dan perhatian yang sungguh – sungguh kepada
konsumen secara perorangan / individual seperti kemudahan untuk menghubungi
perusahaan, kemampuan petugas untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan usaha
perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya
Dimensi empati merupakan
gabungan dari dimensi :
a. Akses (Acces) , meliputi
kemudahan untuk memanfaatkan
jasa yang ditawarkan.
b. Komunikasi
(Communication), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk
menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan.
c. Pemahaman
kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan
untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
4. Assurance (Jaminan) : dimensi mutu pelayanan berupa jaminan yang
mencakup, pengetahuan dan kemampuan petugas / karyawan terhadap produk / jasa
dengan tepat, kualitas keramahtamahan, ketrampilan dalam memberikan informasi, kesopanan, keamanan di dalam
memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan
kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
Dimensi kepastian atau
jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi
a.
Kompetensi (Competence), artinya
ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan / petugas untuk
melakukan pelayanan.
b.
Kesopanan (Courtesy), yang meliputi
keramahtamahan,perhatian dan sikap para petugas.
c.
Kredibilitas (Credibility), yang meliputi
hal – hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan seperti
reputasi,prestasi dan sebagainya.
5. Tangibles : dimensi mutu pelayanan yang
berupa penampilan fisik, seperti gedung dan ruangan front office,
tersedianya tempat parkir, ruang tunggu, penampilan karyawan dan peralatan
komunikasi.
Terdapat sepuluh faktor yang menentukan mutu pelayanan kesehatan yaitu
1. Keandalan dalam konsistensi kerja dan kemampuan
dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2.
Kecepatan dalam menanggapi keluhan pasien.
3.
Kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan yang
dimiliki petugas harus sesuai dengan pemberi pelayanan.
4.
Mudah ditemui dan dihubungi.
5.
Menjaga sikap sopan,perhatian dan keramahan.
6.
Adanya komunikasiyang berguna untuk pasien.
7.
Dapat dipercaya dan jujur.
8.
Adanya jaminan keamanan.
9.
Melakukan usaha untuk mengetahui kebutuhan
pasien.
10.
Bukti langsung dapat dilihat ,misalnya fasilitas
fisik.
Kepustakaan :
1. Junadi
Purnawan,Survey Kepuasan Pasien di Rumah Sakit,Seminar di RSPAD Gatot
subroto,Jakarta,1991
2. LeBoeuf,M,
Memenangkan dan Memelihara Pelanggan, Pustaka Tangga,Jakarta,1992
3. Supranto,J,Pengukuran
Tingkat Kepuasan Pelanggan, Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, 1997
4. Wijono,D
J, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan , Airlangga University
Press,Surabaya,1999
5. Wiratno,
Pengukuran Tingkat Kepuasan Konsumen dengan ServQual Instrumen,
Wahana,Vol 1 no1, 1998
6. 6 Zeitmall,V
A,Parasuraman,Berry,L L,Delivery Quality Service Balancing Customer
Perception And Expectation, The Free Press, New York, 1990.
Mengenal Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Menurut Donabedian (1986) pemanfaatan pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit adalah hasil interaksi antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan tersebut. Sedangkan faktor pengaruh organisasi terhadap pemanfaatan rumah sakit meliputi ketersediaan sumber daya, aksesibilitas geografi, aksesibilitas waktu, aksesibilitas sosial, karakteristik struktur dan proses pemberian pelayanan kesehatan. Ketersediaan sumber daya adalah tersedianya jenis dan jumlah fasilitas kesehatan yang sesuai dengan keinginan konsumen. Aksesibilitas geografi adalah hubungan antara lokasi konsumen dengan lokasi dari penyedia jasa pelayanan kesehatan.aksesibilitas waktu adalah lamanya jam buka dari pelayanan kesehatan sedangkan aksesibilitas sosial berkaitan dengan sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang memberi pelayanan
Dalam model perilaku pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan (behavior model of healt services utilization)
, keputusan seseorang untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan fasilitas
kesehatan tergantung dari komponen – komponen sebagai berikut :
1. Predisposing
: predidposisi seseorang untuk memakai pelayanan kesehatan yang terdiri dari
jenis kelamin,umur,pendidikan,pekerjaan dan pendapatan.
2. Enabling :
kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan yang terdiri dari
fasilitas / sarana,komunikasi dan budaya.
3. Reinforcing : faktor pendorong seseorang sehingga mau
mengerjakan sesuatu, misalnya orang tua / keluarga, teman, tokoh masyarakat,
petugas kesehatan.
4. Need : kebutuhan
akan pelayanan kesehatan, misalnya kebutuhan pelayanan kesehatan di sebuah
rumah sakit.
Sedangkan
faktor – faktor yang mempengaruhi demand pasien terhadap pelayanan
kesehatan adalah :
1.
Insiden penyakit
yang menggambarkan kejadian penyakit
2. Karakteristik
demografi dan sosial budaya yang meliputi status perkawinan, jumlah anggota
keluarga, pendidikan, dan sistem nilai budaya yang ada pada keluarga atau
masyarakat.
3. Faktor ekonomi
antara lain pendapatan, harga pelayanan dan nilai waktu yang dipergunakan untuk
mencari pengobatan.
4.
Persepsi sakit
pasien.
5. Realisasi
kebutuhan (harapan, kepercayaan, pengalaman sebelumnya, adat istiadat dan
agama)
6.
Kemampuan
membayar.
7.
Motivasi untuk
memperoleh pelayanan kesehatan
8.
Lingkungan
(tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan).
Sedangkan Sorkin mempunyai pendapat tentang faktor – faktor
yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti rumah sakit sebagai
berikut
1. Sosial budaya
2. Organisasi
penyedia pelayanan kesehatan
3. Faktor konsumen
meliputi persepsi penyakit, kecacatan, sosio-demografi yaitu : umur, jenis
kelamin,pendidikan, status perkawinan,pendapatan, pekerjaan dan faktor sosio
psikologi yang terdiri dari persepsi terhadap penyakit, kepercayaan dan agama.
4. Organisasi dan
proses pelayanan kesehatan (kemampuan insitusi menciptakan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan,perilaku
provider,keragaman pelayanan,peralatan
dan teknologi canggih).
5.
Faktor - faktor
lain yang berpengaruh antara lain adalah pendapatan, harga, lokasi, dan mutu
pelayanan.
Selain itu terdapat juga faktor – faktor yang mempengaruhi
persepsi pelanggan atas suatu jasa yang berdampak pada pemanfaatan pelayanan
rumah sakit yaitu :
1. Harga : harga
yang rendah menimbulkan persepsi produk tidak berkualitas, akibatnya pembeli
tidak percaya kepada penjual. Sebaliknya, harga yang tinggi menimbulkan
persepsi produk tersebut berkualitas. Namun harga yang terlalu tinggi
menimbulkan persepsi penjual tidak percaya kepada pembeli.
2.
Citra : citra
yang buruk menimbulkan persepsi produk yang tidak berkualitas, sehingga
pelanggan mudah marah untuk kesalahan kecil sekalipun. Citra yang baik
menimbulkan persepsi produk berkualitas, sehingga pelanggan memaafkan suatu
kesalahan, meskipun tidak untuk kesalahan selanjutnya.
3. Tahap pelayanan
: kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan
oleh pelanggan selama ia menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut.
Ketidakpuasan yang didapatkan ketika pada tahap awal pelayanan menimbulkan
persepsi berupa kualitas yang buruk pada
tahap pelayanan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan
pelayanan secara keseluruhan.
4.
Momen pelayanan
: kinerja pelayanan ditentukan oleh :
a. Pelayan (SDM)
b. proses pelayanan
c. lingkungan fisik tempat pelayanan diberikan
Sebagai korporasi Rumah Sakit mempunyai beberapa
kelemahan
antara lain 5 :
1.
Kemampuan dan profesionalisme dalam manajemen
yang kurang memadai.
2. Rumah Sakit belum sungguh – sungguh berfokus
pada kepuasan pasien. Banyak diantara para profesional yang bekerja di Rumah
Sakit masih berpersepsi tradisional, Bahwa pasienlah yang membutuhkan Rumah
sakit (bersifat paternalistik, pasien harus mengikuti peraturan yang
ditetapkan Rumah Sakit). Keberadaan hak – hak pasien belum seluruhnya dapat
diterima.
3. Konsep mutu tidak seragam.
4. Kemampuan dan ketrampilan tenaga profesional
perlu ditingkatkan.
5. Kegiatan pemasaran perlu mendapat perhatian
6.
Efisiensi pemberdayaan sumber daya manusia.
Sehingga secara umum langkah –
langkah untuk manajemen rumah sakit saat ini perlu :
(1) Mengatasi kelemahan – kelemahan institusional seperti tersebut diatas.
(1) Mengatasi kelemahan – kelemahan institusional seperti tersebut diatas.
(2) Sungguh – sungguh berfokus pada kepuasan
pelanggan
(3) Belajar dari pesaing yang lebih tangguh.
Bahan Bacaan
:
1. Departemen
Kesehatan R I, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Direktorat Rumah Sakit
Umum dan Pendididkan ,Jakarta, 1996
2. Donabedian,Avendis,Exploration
in Quality Assesment and Monitoring,Health Administrastion press,Ann
Asbor,Michigan,1988
3.
Hendriani,C,Analisis
Harapan dan Kepuasan Pasien Terhadap Mutu Pelayanan Persalinan Rumah Sakit
Panti Wilasa “ Citarum “ Semarang, , Universitas Diponegoro, Tesis,
Semarang, 2006.
4. Ibrahim,
Buddy,TQM Panduan Untuk Menghadapi Persaingan Global, Djambatan,Jakarta,2000.
5. Jacobalis,S,
Kumpulan Tulisan Terpilih Tentang Rumah Sakit Indonesia Dalam Dinamika Sejarah,Transformasi, Globalisasi
dan Krisis Nasional, Yayasan Penerbit IDI,Jakarta, 2000
6. Parasuraman,
A,Zeithami,V.A, and Berry,L L, SERVQUAL : A Multiple Item
Scale For Measuring Consumer
Perception of SerVice Quality, Journal of Retailing , vol 64 hal 12 – 35,
1988
7.
Umar
,Husein,Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta Business Research
Center,Jakarta,2000
Langganan:
Postingan (Atom)