Total Tayangan Halaman

Senin, 03 Februari 2014

Persetujuan pasien/ Informed Consent

Print Friendly and PDF
Persetujuan pasien / Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]
Tiga elemen Informed consent [3]
1. THRESHOLD ELEMENTS
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. INFORMATION ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding(pemahaman).
Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
o Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
o Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. CONSENT ELEMENTS
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) danauthorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan Informed Consent
Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter / petugas medis lainnya tentang informed consent
o Pasien tidak mau diberitahu.
o Pasien tak mampu memahami.
o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.



[1] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
[2] Sofwan Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang hal 37

[3] Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005

Kamis, 30 Januari 2014

HARUSKAH DIREKTUR RUMAH SAKIT SEORANG DOKTER ?

Print Friendly and PDF HARUSKAH DIREKTUR RUMAH SAKIT SEORANG DOKTER ?

Akhir-akhir ini bisnis perumahsakitan terus berkembang, banyak kalangan swasta baik secara individu maupun berkolaborasi membangun rumah sakit, tidak terbatas pada kelompok paramedis maupun individu paramedis, namun banyak dari kalangan non paramedis turut meramaikan dan memanfaatkan peluan bisnis dibidang pelayanan kesehatan. Demikian juga institusi swasta dari kalangan perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran atau akan membentuk fakultas kedokteran berusaha mengkaitkan dengan ketersediaan rumah sakit pada institusi tersebut.

Atas fenomena ini kemudian muncul beberapa pertnyaan dari kalangan “awam” menanyakan haruskah seorang direktur rumah sakit seorang dokter atau cukup paramedis  non dokter yang memiliki pengalaman tentang perumah sakitan? Dan bolehkan pemilik rumah sakit merangkap jabatan sebagai direktur?

Dalam Permenkes No. 971 tahun 2009, Permenkes RI No. 147?MENKES/PER/I/2010 Tentang perizinan Rumah Sakit dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit memang tidak dicantumkan dengan pasti bahwa direktur rumah sakit haruslah seorang dokter, tetapi  hanya menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis  yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.

Yang relevan untuk dijadikan pedoman penentuan kepala rumah sakit harus dokter adalah:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.

Apakah Depkes akan melakukan audit terhadap rumah sakit yang memiliki direktur bukan seorang dokter? Jawabnya, ya Depkes akan mengaudit dan memebrikan penilaian atas posisi ini. Depkes memiliki program akreditasi yang harus dilakukan oleh semua institusi pelayanan kesehatan yang menggunakan klasifikasi/nama “Rumah Sakit” dalam bisnisnya.
Berikut adalah perangkat Akreditasi yang digunakan untuk mengaudit keberadaan direktur dan pemilik rumah sakit:

Standard 3. STAFF dan PIMPINAN
Adanya pelimpahan kewenangan dari pemilik kepada pengelola rumah sakit untuk megelola sumber daya manusia (SDM)

S.3.P.1. Pemilik menetapkan tertulis Direktur Rumah Sakit

Skor:
0: Tidak ada Direktur rumah sakit
1: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
2: Pemilik rumah sakit merangkap sebagai Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
3: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit belum dipenuhi.
4: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi.
5: Pemilik rumah sakit sudah menetapkan Direktur, kualifikasi sebagai Direktur rumah sakit sudah dipenuhi, disertai pemilikan ijazah dan gelar pasca sarjana (S2) dalam bidang manajemen.

DO: Sebutan Direktur rumah sakit dapat juga diberikan dengan nama lain misalnya Kepala, Direktur Utama, Chief Executive Officer (CEO). Kualifikasi Direktur rumah sakit dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 191/MENKES-KESOS/SK/II/2001 tertanggal 28 Pebruari 2001, pada pasal II, ayat (3) yang berbunyi: “Direktur Rumah Sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan dibidang perumahsakitan dan menghayati profesi kesehatan khususnya profesi kedokteran”.


Dikutip dari : 
http://www.konsultanrumahsakit.com/home/index.php?page=detail&cat=2&id=264

Sabtu, 11 Januari 2014

Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Print Friendly and PDF
        Mutu Pelayanan Rumah Sakit

          Armand V Feigebaum berpendapat bahwa mutu adalah faktor keputusan mendasar dari pelanggan bukan keputusan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Mutu berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk atau jasa pelayanan,mengukurnya,mengharapkannya, dijanjikan atau tidak,sadar atau hanya dirasakan,operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target ayang bergerak dalam pasar yang kompetitif.
         Mutu produk dan jasa adalah gabungan sifat-sifat produk atau jasa pelayanan dari pemasaran,engineering,manufaktur dan pemeliharaan dimana produk atau jasa pelayanan dalam penggunaannya bertemu dengan harapan pelanggan. Beberapa definisi profesional tentang mutu banyak dikemukakan dan saling melengkapi antara lain
1. Mutu adalah gambaran total sifat suatu produk jasa pelayananyang berhubungan dengan kemapuannyauntuk memberikan kebutuhan kepuasan ( American Society for Quality Control )
2.    Mutu adalah “Fitness for Use”  atau kemampuan kecocokan terhadap penggunaan (J. M Juran)
3.    Mutu adalah kesesuaian terhadap permintaan persyaratan (The conformance of requirements – Philip B.Crosby,1979 ) .
                 Mutu barang umumnya dapat diukur (tangible),namun mutu jasa   pelayanan  sulit diukur (intangible) karena umumnya bersifat subyektif karena menyangkut kepuasan seseorang, bergantung pada persepsi, latar belakang, sosial ekonomi, norma,pendidikan,budaya bahkan kepribadian seseorang. Bagi pasien mutu yang baik dikaitkan dengan sembuhnya dari sakit atau berkurangnya rasa sakit, kecepatan pelayanan, keramahtamahan, dan tarif pelayanan yang murah. Pasien akan menganggap pelayanan kesehatan jelek jika menurutnya sakit yang diderita tidak sembuh sembuh, antri lama, petugas kesehatannya tidak ramah meskipun professional
            Konsumen pelayanan kesehatan tidak dapat dinilai secara teknis medis,oleh karena itu mereka menilai dari sisi non teknis. Ada dua penilaian tentang pelayanan kesehatannya yaitu kenyamanan  dan nilai pelayanan yang diterima. Konsumen pelayanan yang akan membandingkan pelayanan kesehatan yang diterima dengan harapan terhadap pelayanan yang diberikan sehingga membentuk kepuasan mutu pelayanan. Hasil yang dapat terjadi  :
a.    Jika harapan itu terlampaui, pelayanan tersebut diarsakan sebagai kualitas yang luar biasa
b.    Jika harapan sama dengan pelayanan yang dirasakan, maka kualitas memuaskan.
c.    Jika harapan tidak sesuai atau tidak terpenuhi maka kualitas pelayanan tersebut dianggap tidak dapat diterima atau mengecewakan.
                   Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan penilaian mutu lebih terkait dengan dimensi kesesuaian mutu pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Petugas kesehatan merasa mutu yang bagus adalah tersedianya prasarana yang bagus, canggih serta persediaanya tercukupi.
   Sedangkan bagi manajer organisasi kesehatan atau penyandang dana  mutu dikaitkan dengan tersedianya sumber daya, , tenaga pelayanan, anggaran yang memadai, efisiensi pemakaian sumber dana , biaya operasional yang cukup dan investasi yang sepadan serta mengurangi kerugian penyandang dana.
        Secara tidak langsung pasien yang mempunyai persepsi tentang mutu
pelayanan yang buruk akan menceritakan kepada delapan sampai sepuluh orang bahkan satu dari lima pasien yang tidak puas akan menceritakan masalahnya kepada duapuluh temannya 
           Dalam penelitian Krowinski (1997) di tujuh rumah sakit dengan jumlah 15.000 pasien, melaporkan bahwa 13 % pasien yang tidak puas ,37 % tidak menyampaikan keluhannya dan 63 % menyampaikan keluhannya. Kemudian dari 37 % yang tidak menyampaikan keluhan 91 % tidak mau kembali lagi.Sedangkan yang 63 % yang meyampaikan keluhan jika ditanggapi 54 % mau kembali lagi,tetapi 46 % tidak kembali lagi. Tetapi jika tidak ditanggapi maka 81 % tidak kembali lagi
        Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mutu yang buruk menyebabkan ketidak puasan pasien yang mempunyai konsekuensi kerugian biaya bagi rumah sakit karena kehilangan pasiennya.
                    Suatu penelitian lain yang dilakukan untuk mengetahui mengapa  
pelanggan / pasien tidak kembali lagi,ditemukan kenyataan sebagai berikut :
1.        1 % karena meninggal dunia
2.        3 % karena pindah tempat tinggal
3.        5 % karena menemukan persahabatan dengan perusahaan lain
4.        9 % karena bujukan pesaing
5.        14 % karena tidak puas denga produk dan
6.        68 % karena mutu pelayanan yang buruk
                       Untuk mengatasi kesenjangan antara persepsi konsumen / pasien dengan penyedia jasa pelayanan diperlukan langkah untuk mengidentifikasi atau mengenal kebutuhan pasien dan faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan kesehatan. Dengan mengenal hal tersebut maka akan memberikan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai cara pasien mempersepsikan mutu pelayanan sehingga Rumah Sakit akhirnya dapat memahami bagaimana seharusnya memperlakukan pasiennya  
                   Untuk mengukur mutu jasa pelayanan termasuk kesehatan maka model  yang sering digunakan adalah model Servqual mutu pelayanan jasa yaitu antara lain
      1.  Reliability (Kehandalan)  : dimensi mutu pelayanan yang berupa kemampuan untuk memberikan  pelayanan yang optimal dan akurat dan merupakan pernyataan tentang kemampuan dalam memenuhi janji yang ditawarkan.
2.        Responsiveness ( Daya Tanggap )  : dimensi mutu pelayanan tentang respon atau kesigapan petugas memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap termasuk kecepatan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan / pasien.
3.    Empathy ( Perhatian) : dimensi mutu pelayanan tentang kepedulian dan perhatian yang sungguh – sungguh kepada konsumen secara perorangan / individual seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan petugas untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya
                     Dimensi empati merupakan gabungan dari dimensi :
a.    Akses  (Acces)  , meliputi  kemudahan  untuk  memanfaatkan  jasa  yang ditawarkan.
b.    Komunikasi (Communication), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan.
c.    Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
4.  Assurance (Jaminan)  : dimensi mutu pelayanan berupa jaminan yang mencakup, pengetahuan dan kemampuan petugas / karyawan terhadap produk / jasa dengan tepat, kualitas keramahtamahan, ketrampilan dalam memberikan  informasi, kesopanan, keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan  dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
                    Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi
a.    Kompetensi (Competence), artinya ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan / petugas untuk melakukan pelayanan.
b.    Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahtamahan,perhatian dan sikap para petugas.
c.    Kredibilitas (Credibility), yang meliputi hal – hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan seperti reputasi,prestasi dan sebagainya.            
5.  Tangibles : dimensi mutu pelayanan yang berupa penampilan fisik, seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, ruang tunggu, penampilan karyawan dan peralatan komunikasi.
             Terdapat sepuluh faktor yang menentukan mutu pelayanan kesehatan yaitu
1. Keandalan dalam konsistensi kerja dan kemampuan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2.    Kecepatan dalam menanggapi keluhan pasien.
3.    Kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki petugas harus sesuai dengan pemberi pelayanan.
4.    Mudah ditemui dan dihubungi.
5.    Menjaga sikap sopan,perhatian dan keramahan.
6.    Adanya komunikasiyang berguna untuk pasien.
7.    Dapat dipercaya dan jujur.
8.    Adanya jaminan keamanan.
9.    Melakukan usaha untuk mengetahui kebutuhan pasien.
10.     Bukti langsung dapat dilihat ,misalnya fasilitas fisik.
  
Kepustakaan :

1. Junadi Purnawan,Survey Kepuasan Pasien di Rumah Sakit,Seminar di RSPAD Gatot subroto,Jakarta,1991
2. LeBoeuf,M, Memenangkan dan Memelihara Pelanggan, Pustaka Tangga,Jakarta,1992
3.  Supranto,J,Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, 1997
4. Wijono,D J, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan , Airlangga University Press,Surabaya,1999
5. Wiratno, Pengukuran Tingkat Kepuasan Konsumen dengan ServQual Instrumen, Wahana,Vol 1 no1, 1998
6.                6 Zeitmall,V A,Parasuraman,Berry,L L,Delivery Quality Service Balancing Customer Perception And Expectation, The Free Press, New York, 1990.

Mengenal Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Print Friendly and PDF

                     Menurut Donabedian (1986) pemanfaatan pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit adalah hasil interaksi antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan tersebut.  Sedangkan faktor pengaruh organisasi terhadap pemanfaatan rumah sakit meliputi ketersediaan sumber daya, aksesibilitas geografi, aksesibilitas waktu, aksesibilitas sosial, karakteristik struktur dan proses pemberian pelayanan kesehatan. Ketersediaan sumber daya adalah tersedianya jenis dan jumlah fasilitas kesehatan yang sesuai dengan keinginan konsumen. Aksesibilitas geografi adalah hubungan antara lokasi konsumen dengan lokasi dari penyedia jasa pelayanan kesehatan.aksesibilitas waktu adalah lamanya jam buka dari pelayanan kesehatan sedangkan aksesibilitas sosial berkaitan dengan sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang memberi pelayanan


            Dalam model perilaku pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan (behavior model of healt services utilization) , keputusan seseorang untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan fasilitas kesehatan tergantung dari komponen – komponen sebagai berikut :

1.  Predisposing : predidposisi seseorang untuk memakai pelayanan kesehatan yang terdiri dari jenis kelamin,umur,pendidikan,pekerjaan dan pendapatan.

2.  Enabling : kemampuan seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan yang terdiri dari fasilitas / sarana,komunikasi dan budaya.

3.  Reinforcing   : faktor pendorong seseorang sehingga mau mengerjakan sesuatu, misalnya orang tua / keluarga, teman, tokoh masyarakat, petugas kesehatan.

4.  Need : kebutuhan akan pelayanan kesehatan, misalnya kebutuhan pelayanan kesehatan di sebuah rumah sakit.

                    Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi demand pasien terhadap pelayanan kesehatan adalah :

1.        Insiden penyakit yang menggambarkan kejadian penyakit

2.      Karakteristik demografi dan sosial budaya yang meliputi status perkawinan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan sistem nilai budaya yang ada pada keluarga atau masyarakat.

3.      Faktor ekonomi antara lain pendapatan, harga pelayanan dan nilai waktu yang dipergunakan untuk mencari pengobatan.

4.        Persepsi sakit pasien.            

5.     Realisasi kebutuhan (harapan, kepercayaan, pengalaman sebelumnya, adat istiadat dan agama)

6.        Kemampuan membayar.

7.        Motivasi untuk memperoleh pelayanan kesehatan

8.        Lingkungan (tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan).

Sedangkan Sorkin mempunyai pendapat tentang faktor – faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti rumah sakit sebagai berikut 

1.       Sosial budaya

2.       Organisasi penyedia pelayanan kesehatan

3.     Faktor konsumen meliputi persepsi penyakit, kecacatan, sosio-demografi yaitu : umur, jenis kelamin,pendidikan, status perkawinan,pendapatan, pekerjaan dan faktor sosio psikologi yang terdiri dari persepsi terhadap penyakit, kepercayaan dan agama.

4.      Organisasi dan proses pelayanan kesehatan (kemampuan insitusi menciptakan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan,perilaku provider,keragaman  pelayanan,peralatan dan   teknologi canggih).

5.   Faktor - faktor lain yang berpengaruh antara lain adalah pendapatan, harga, lokasi, dan mutu pelayanan.

            Selain itu terdapat juga faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi pelanggan atas suatu jasa yang berdampak pada pemanfaatan pelayanan rumah sakit yaitu  :

1.      Harga : harga yang rendah menimbulkan persepsi produk tidak berkualitas, akibatnya pembeli tidak percaya kepada penjual. Sebaliknya, harga yang tinggi menimbulkan persepsi produk tersebut berkualitas. Namun harga yang terlalu tinggi menimbulkan persepsi penjual tidak percaya kepada pembeli.

2.        Citra : citra yang buruk menimbulkan persepsi produk yang tidak berkualitas, sehingga pelanggan mudah marah untuk kesalahan kecil sekalipun. Citra yang baik menimbulkan persepsi produk berkualitas, sehingga pelanggan memaafkan suatu kesalahan, meskipun tidak untuk kesalahan selanjutnya.

3.      Tahap pelayanan : kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan selama ia menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut. Ketidakpuasan yang didapatkan ketika pada tahap awal pelayanan menimbulkan persepsi berupa kualitas yang buruk pada  tahap pelayanan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluruhan.

4.        Momen pelayanan : kinerja pelayanan ditentukan oleh :

                               a.    Pelayan (SDM)

                               b.    proses pelayanan

                               c.    lingkungan fisik tempat pelayanan diberikan  

              Sebagai  korporasi Rumah Sakit mempunyai beberapa kelemahan  

               antara   lain 5 :

1.      Kemampuan dan profesionalisme dalam manajemen yang kurang memadai.

2.   Rumah Sakit belum sungguh – sungguh berfokus pada kepuasan pasien. Banyak  diantara para profesional yang bekerja di Rumah Sakit masih berpersepsi tradisional, Bahwa pasienlah yang membutuhkan Rumah sakit (bersifat paternalistik, pasien harus mengikuti peraturan yang ditetapkan Rumah Sakit). Keberadaan hak – hak pasien belum seluruhnya dapat diterima.

3.   Konsep mutu tidak seragam.

  4.  Kemampuan dan ketrampilan tenaga profesional perlu ditingkatkan.

  5.   Kegiatan pemasaran perlu mendapat perhatian

6.    Efisiensi pemberdayaan sumber daya manusia.

           Sehingga secara umum langkah – langkah untuk manajemen rumah sakit saat ini perlu :
   (1)   Mengatasi kelemahan – kelemahan institusional seperti tersebut   diatas. 
(2)  Sungguh – sungguh berfokus pada kepuasan pelanggan

(3)   Belajar dari pesaing yang lebih tangguh.


 Bahan Bacaan  :


1.  Departemen Kesehatan R I, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendididkan ,Jakarta, 1996

2. Donabedian,Avendis,Exploration in Quality Assesment and Monitoring,Health Administrastion press,Ann Asbor,Michigan,1988

3.    Hendriani,C,Analisis Harapan dan Kepuasan Pasien Terhadap Mutu Pelayanan Persalinan Rumah Sakit  Panti Wilasa “ Citarum “ Semarang, , Universitas Diponegoro, Tesis, Semarang, 2006.

4. Ibrahim, Buddy,TQM Panduan Untuk Menghadapi Persaingan Global, Djambatan,Jakarta,2000.

5. Jacobalis,S, Kumpulan Tulisan Terpilih Tentang Rumah Sakit Indonesia Dalam  Dinamika Sejarah,Transformasi, Globalisasi dan Krisis Nasional, Yayasan Penerbit IDI,Jakarta, 2000

6.  Parasuraman, A,Zeithami,V.A,   and  Berry,L L, SERVQUAL : A Multiple Item Scale  For Measuring Consumer Perception of SerVice Quality, Journal of Retailing , vol 64 hal 12 – 35, 1988

7.    Umar ,Husein,Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta Business Research Center,Jakarta,2000