Persetujuan pasien / Informed Consent
Informed consent
adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum
bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]
Definisi
operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya.[2]
Tiga elemen Informed consent [3]
1. THRESHOLD ELEMENTS
Elemen ini
sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap).
Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis.
Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut
kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki
kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat
keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum
seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada
dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan
mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental
sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. INFORMATION ELEMENTS
Elemen ini terdiri
dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding(pemahaman).
Pengertian
”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini,
seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standar, yaitu :
o Standar Praktik
Profesi
Bahwa kewajiban
memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana
BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini
ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut
medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
o Standar Subyektif
Bahwa keputusan
harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam
membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan)
bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh
pasien.
o Standar pada reasonable person
Standar ini
merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup
apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3. CONSENT ELEMENTS
Elemen ini terdiri
dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) danauthorization (persetujuan).
Kesukarelaan
mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga
harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap
seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Consent dapat
diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
o Dinyatakan secara
lisan
o Dinyatakan secara
tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian
hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan
medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh
persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak
menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku
(gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent
jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak
dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah
seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan
diambil darahnya.
Proxy Consent
Adalah consent yang
diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa
pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut
harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat
orang banyak).
Umumnya urutan
orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua,
saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya
boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Konteks dan
Informed Consent
Doktrin Informed
Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan
masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent
(waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien
yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam
memberikan consent.
Contextual
circumstances juga seringkali
mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah
pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima
kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap”
menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak
keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang
keadaan sakitnya.
Sebuah penelitian
yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang
ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat
tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul,
hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat
menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa
dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan
tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat
atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik
spesialis.
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak
perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga
tidak mampu mencerna informasi
o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter / petugas medis lainnya tentang informed
consent
o Pasien tidak mau diberitahu.
o Pasien tak mampu memahami.
o Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
o Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
[1] Budi
Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka
Dwipar, Oktober 2005
[2] Sofwan
Dahlan, 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang hal 37
[3] Budi
Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka
Dwipar, Oktober 2005